Aktivitas dalam pelaksanaan proyek bangunan dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada lingkungan sekitarnya. Tetapi dampak negatif tersebut biasanya kurang mendapat perhatian dari para pelaku bidang konstruksi, yang lebih memperhatikan konsep biaya, mutu, dan waktu. Padahal, dampak negatif yang ditimbulkan dapat mengganggu, merugikan, bahkan dapat membahayakan orang-orang di sekitar proyek konstruksi tersebut.
Proyek konstruksi sudah lama dikenal sebagai proyek yang kotor, yang membuat lingkungan di sekitar proyek menjadi kumuh dan berantakan. Banyaknya aktivitas peralatan, pekerja, material, membuat lokasi konstruksi menjadi tidak rapi. Peralatan dan stok barang ditempatkan di sembarang tempat, sisa-sisa material yang bertebaran, dan tentu saja sampah yang dihasilkan dari para pekerja.
Kondisi kerja yang seperti ini dapat membuat kenyamanan, keamanan, dan keselamatan para pekerja konstruksi berkurang. Sisa-sisa bongkaran yang dapat membahayakan pekerja, sisa material ringan yang dapat tertiup angin dan menyebar keluar lokasi proyek, terganggunya aktivitas kerja karena ruang gerak yang terbatas, dan sebagainya pada akhirnya juga mengganggu kelangsungan proyek itu sendiri.
Masalah yang dihadapi dalam pengelolaan limbah konstruksi ini adalah pengumpulan dan pembuangannya tidak dapat dilakukan sendiri oleh kontraktor. Dari segi waktu dan tenaga kerja yang dibutuhkan, kontraktor akan mengeluarkan biaya yang lebih banyak apabila melakukannya sendiri. Sehingga, penanganan limbah ini selalu dilakukan dalam kerja sama dengan pihak lain seperti penyedia jasa pengangkutan sampah.
Selanjutnya, pembuangan limbah keluar proyek dilakukan dengan cara membayar tukang puing untuk mengangkut limbah keluar proyek atau menjual material yang memiliki nilai jual tinggi kepada tukang puing ataupun pedagang material bekas. Jadi, keberhasilan suatu proyek konstruksi, selain memperhatikan waktu, mutu, dan biaya, juga perlu memperhatikan cara yang tepat dalam penanganan sisa limbah konstruksi tersebut.